Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jouron

MES dan Paradoks Keuangan Syariah Indonesia

Bisnis | Monday, 12 Apr 2021, 04:19 WIB
Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) yang juga Menteri BUMN Erick Thohir - (Republika)

Negara penduduk Muslim terbesar di dunia melekat bagi Indonesia. Dari 260 juta penduduknya, 85 persennya (222 juta orang) adalah Muslim.

Kuantitas sebanyak ini tidak berbanding lurus dengan perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Jika dibandingkan dengan penguasaan ceruk ekonomi nasional, dominasi perbankan konvensional, misalnya, masih supermayoritas.

Ada paradoks memang, namun belum sampai ironi. Setidaknya, ada enam poin besar yang menjadi perhatian pemangku kepentingan industri keuangan syariah, termasuk yang menjadi pekerjaan rumah Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) di bawah kepemimpinan Erick Thohir.

Pertama, pangsa pasar (market share) perbankan syariah masih kecil dibandingkan bank konvensional. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pangsa industri jasa keuangan syariah baru 9,90 persen sementara perbankan syariah lebih kecil lagi, baru 6,5 persen.

Kedua, penguasaan pangsa yang kecil ini tak lepas dari masih rendahnya literasi keuangan syariah yang baru mencapai 8,93 persen. Sementara, literasi keuangan keuangan konvensional secara nasional sebesar 38,03 persen.

Indeks inklusi keuangan syariah lebih kecil lagi dibandingkan dengan inklusi keuangan nasional yang mencapai 76,19 persen. Untuk indeks inklusi keuangan syariah baru 9,1 persen. Literasi menunjukkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat atas produk dan jasa keuangan, sedangkan inklusi berhubungan dengan keterlibatan masyarakat di industri keuangan.

Ketiga, permodalan bank syariah masih terbatas. Ada enam bank syariah memiliki modal inti di bawah Rp 2 triliun dari total 14 bank umum syariah per Desember 2020.

Belum ada bank syariah yang masuk kategori BUKU IV, yakni bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun. Bank Syariah Indonesia (BSI) bisa mendobrak tembok besar ini dengan modal inti saat ini Rp 21 triliun.

Keempat, terbatasnya sumber daya di industri keuangan syariah. Kebutuhan sumber daya manusia yang andal dan memiliki kompetensi tinggi di bidang perbankan syariah masih tinggi namun jumlahnya terbatas. Kelima, tingkat kompetitif produk dan layanan keuangan syariah juga belum setara dengan keuangan konvensional.

Perbankan syariah dituntut mampu menyediakan kebutuhan keuangan untuk berbagai sektor terutama sektor riil dan UMKM. Terlibat aktif dalam pengembangan industri halal dan ekosistem ekonomi syariah.

Perbankan syariah memiliki kelebihan khas yakni fokus melakukan pengembangan sektor riil, khususnya UMKM. Kemenkop UKM menyebut ada 50 juta sektor usaha UMKM di Indonesia.

Keenam, digitalisasi perbankan tak terelakkan lagi. Seperti kata Bill Gates pada 1994 bahwa banking is necessary, banks are not. Kegiatan perbankan tetap utama sementara kantor bank tidak terlalu penting.

Perubahan gaya hidup dengan dominasi tranformasi teknologi memaksa perbankan mengubah model dan platform bisnisnya. Generasi teknologi kini menjadi mayoritas hidup baik dari Generasi Milenial maupun Generasi Z.

Enam poin di atas menunjukkan adanya paradoks dalam industri keuangan syariah Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Paradoks ini terus coba dijawab oleh OJK, BI, KNKS, hingga MES yang belum lama ini pengurus periode 2021-2024 dilantik Wapres KH Maruf Amin.

Digitalisasi Perbankan Syariah

Langkah Erick Thohir sebagai Ketua MES dan Menteri BUMN cukup mengejutkan terkait industri keuangan syariah. Ini juga menjadi strategi penting dalam menjawab berbagai paradoks industri keuangan syariah Indonesia.

Megamerger bank syariah milik Himbara menjadi corporate action bersejarah dan terbesar dalam industri keuangan syariah nasional. Lahirnya Bank Syariah Indonesia (BSI) membuka jalan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia di Asia. Indonesia tidak lagi bermimpi memiliki bank syariah besar dengan modal besar dan bisa masuk 10 besar bank syariah terbesar di dunia.

Kejutan lain ketika Erick Thohir memasukkan sejumlah nama ke dalam kepengurusan MES 2021-2024. Ada Robert Hartono, putra pemilik Grup Djarum Budi Hartono, yang kini menjadi pebisnis terdepan digital di Tanah Air.

Erick juga mengajak Pandu Sjahrir, putra ekonom Sjahrir, masuk ke dalam pengurusan. Pandu Sjahrir pun dikenal sebagai pebisnis digital.

Ketua DPR Puan Maharani, sejumlah pengusaha top papan atas seperti M Arsyad Rasyid, banker papan atas, ekonom, hingga Menko Polhukam Mahfud MD juga masuk kepengurusan MES. Digitalisasi menjadi tantangan besar bagi perbankan syariah. Selama ini, Erick dan MES sangat menyadari perbankan syariah nasional masih tertinggal baik dari sisi investasi maupun perluasan layanan digital.

Pengguna internet Indonesia diperkirakan mencapai 202 juta pada 2021 ini. Sebanyak 50-an persen pengguna internet ini adalah Generasi Z dan Generasi Milenial. Internet telah mengubah gaya hidup mereka menjadi technology minded.

Tak heran jika arus penjualan barang dan jasa semakin cepat melalui platform digital. Sepanjang 2020, transaksi digital di Indonesia mencapai 44 miliar dolar AS atau 44 persen dari seluruh transaksi digital di ASEAN.

Angka ini diperkirakan makin meningkat hingga menjadi 124 miliar dolar AS pada 2025. Sebuah jumlah yang tentu saja besar.

Transaksi terbesar dalam proses ekonomi digital berasal dari sektor e-commerce, layanan transportasi, penjualan makan online, media online, dan layanan travel online. Dari data Bank Indonesia, transaksi digital perbankan pada 2020 sudah menyentuh Rp 2.774 triliun atau naik 13,91 persen.

Dalam konteks ini, perbankan syariah harus meningkatkan strategi teknologi digital, karena di saat bersamaan muncul neo bank atau bank digital.

BPS menyebut segmen anak muda Indonesia mencapai 53 persen dari total populasi, yakni milenial 25,8 persen dan gen Z sebesar 27,9 persen. Secara angka, ada target 144 juta penduduk anak muda yang adaptif terhadap teknologi.

Pandangan Brett King pada bukunya berjudul Bank 4.0, Banking Everywhere, Never at a Bank menjadi relevan sehubungan dengan perubahan ini. Ada sisi sadis dan kejam bagi industri perbankan jika tidak beradaptasi dengan perubahan teknologi ini.

Brett King jelas bukan orang yang pertama yang memprediksi hal ini, Bill Gates sudah mengingatkan ini terlebih dahulu pada 1994. Bagi Brett King, penting bagi sebuah bank memberikan dukungan digital kepada masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhannya di tengah arus digitalisasi, termasuk transformasi layanan dari luring menjadi daring.

Persoalan literasi dan inklusi keuangan syariah bisa diperbaiki dengan digitalisasi layanan dan plarform. Fungsi-fungsi dan layanan perbankan bisa menjangkau lebih luas masyarakat dari yang ada saat ini.

MES bisa menjadi pendorong bekerjanya mesin-mesin keuangan syariah untuk membalikkan paradoks-paradoks ini. Apalagi, empat program yang disampaikan Erick Thohir sebagai Ketua Umum MES seolah menjawab berbagai persoalan mendasar industri keuangan syariah Indonesia.

Keempat program itu meliputi mengembangkan pasar industri halal di dalam dan di luar negeri. Kedua, mengembangkan industri keuangan syariah.

Ketiga, investasi yang bersahabat yang melibatkan pengusaha daerah. Keempat, pengembangan ekonomi syariah di pedesaan secara berkelanjutan.

Dengan pengurus MES yang lintas sektor dan profesi akan memudahkan koordinasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang mendorong penguatan perbankan syariah dalam mendukung ekonomi riil dan ekosistem industri halal.

Juga, visi inklusivitas perbankan syariah semakin lebih luas. Layanan perbankan syariah tidak hanya ekslusif untuk Muslim namun juga kepada berbagai kelompok masyarakat.

Yang jelas, seperti kata Ketua OJK Wimboh Santoso yang juga pengurus MES, industri keuangan syariah sudah punya modal besar untuk terus maju dan berkembang, memperkuat ekonomi nasional.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image