Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fitriyan Zamzami

Bernays, Freud, dan Jihad Akbar

Politik | Wednesday, 21 Apr 2021, 12:18 WIB

Kalau punya waktu sela, wahai pembaca yang budiman, Saya hendak meminta mengingat sejenak iklan-iklan yang sempat kalian lihat di rerupa media. Berapa banyak dari iklan-iklan tersebut yang benar-benar mengiklankan fungsi sebenar dari produk-produk bersangkutan?

Kalau temuan saya, tak banyak. Iklan rokok, misalnya, bahkan tak perlu menunjukkan produknya sama sekali. Ia sekadar mengasosiasikan merek tertentu dengan nilai-nilai tertentu pulak, bukan fungsinya, lebih-lebih bahayanya. Kita juga tak sedemikian banyak dapat informasi dari iklan kendaraan tertentu, misalnya. Alih-alih kita diberi gambaran soal keluarga yang bahagia, atau lawan jenis yang tertarik. Lebih jahat lagi iklan kosmetik-kosmetik yang menekankan asosiasi bentuk tubuh tertentu dengan status sosial dalam pergaulan.

Sedianya, iklan tak selalu sedemikian manipulatif. Pada mulanya, ia benar-benar murni menyampaikan fungsi dan keunggulan produk-produk tertentu, walau kadang-kadang pake tipu-tipu juga. Nah, siapa yang bertanggung jawab membuat keadaan seperti sekarang?

Saya menonton dokumenter ciamik beberapa waktu lalu, judulnyaThe Century of The Self(2002), dan jawabannya adalah seseorang bernama Edward Bernays. Bernays adalah seorang staf departemen informasi publik untuk Presiden Woodrow Wilson sepanjang Perang Dunia I.

Ia saat itu bertugas membuat mempromosikan ide bahwa Amerika Serikat terjun ke Perang Dunia I untuk mendemokrasikan Eropa. Saat mengikuti Presiden Wilson ke Paris pada 1919, dia kaget melihat promosi yang ia kampanyekan dapat sambutan khalayak.

Edward Bernays (wikicommons)

Dari situ, ia tergoda efektifitas dari barang yang namanya propaganda. Kendati demikian, karena konotasi kata propaganda yang sudah terlanjur negatif, ia bikin istilah baru, Public Relation, alias hubungan masyarakat alias humas.

Bernays kemudian mendalami ilmu propaganda tersebut, dan melakukan sebuah eksperimen untuk perusahaanAmerican Tobacco Company. Saat itu, merokok masih tabu buat perempuan danAmerican Tobaccomenyadari bahwa jika kondisi terus begitu, mereka kehilangan setengah ceruk pasar.

Pada parade paskah 1929 di New York, Bernays melancarkan eksperimennya. Ia menyewa sekelompok perempuan untuk merokok pada helatan tersebut. Kelompok perempuan itu kemudian berbaris dan menyatakan bahwa yang mereka lakukan adalah sejenis gerakan feminisme. Mereka menyalakan rokok sebagai obor kebebasan untuk melawan tabu. Kampenye serupa kemudian diserukan lewat rerupa media, dan akhirnya para perempuan banyak yang tergoda untuk merokok, sementaraAmerican Tobaccodapat untung besar.

Tapi dari mana Bernays dapat ide jenius tersebut? Begini, Bernays kebetulan adalah keponakan seorang ilmuwan di Austria bernama Sigmund Freud. Dari Paman Sigmund, Bernays belajar bahwa manusia tak selalu bertindak rasional. Mereka punya tendensi-tendensi primal alias hewani di bawah sadar yang sedikit banyak juga mempengaruhi bagaimana mereka mengambil keputusan. Jika kecenderungan primal itu dipicu, manusia bisa terdorong atau didorong melakukan banyak sekali hal-hal irasional.

Sigmund Freud (wikicommons)

Saya, sebagai manusia yang tumbuh besar dengan ajaran Islam, sedianya tak sedemikian asing dengan ide tersebut. Alquran berulang kali bicara tentang sesuatu di dalam manusia yang disebut nafs, akar bahasa dari kata Melayu "nafsu". Menurut rerupa tafsir, ia adalah keadaan bawaan manusia, keadaan alamiah yang kita perlukan tapi jadi berbahaya bila tak dikendalikan. Ia harus dikendalikan agar jadimutmainnah. Hanya dengan begitu, manusia bisa jadi lebih dekat dengan kesempurnaan.

Katakanlah seperti dorongan seksual, amarah, rasa takut, selera makan. Pada literatur Islam masa lampau, yang namanyanafskerap diasosiasikan dengan gambar binatang. Tak sedemikian jauh dari teori Freud bahwa kecenderungan primal dan irasional manusia adalah bawaan dari masa-masa lebih awal evolusi.

Ibn Taimiyyah beranalogi lebih jauh dengan mengatakan bahwanafsbisa juga menyeruak jauh dalam kecenderungan ideologis dan religius manusia. Ia secara implisit menyatakan bahwa bidah datang dari kecenderungan primal tak terkendali yang diejawantahkan dalam penafsiran beragama.

Kembali ke Bernays, eksperimennya tak berhenti pada produk-produk komersial semata. Ia menilai kebijakan politik pemerintah bisa juga dipaksakan melalui manipulasi kecenderungan primal manusia. DokumenterThe Power Principle(2012) menuturkan bagaimana cara-cara Bernays dipakai CIA, badan intelijen AS yang ternama itu, untuk menimbulkan ketakutan semu terhadap komunisme dan menjustifikasi langkah-langkah Amerika Serikat menjatuhkan para pimpinan yang terpilih secara demokratis namun memiliki kecenderungan sosialis di negara dunia ketiga.

Menengok bahwa saat ini kebanyakan negara komunis sudah berubah haluan, juga masih kuatnya hegemoni Amerika Serikat, amanlah kita ambil kesimpulan bahwa taktik tersebut berhasil.

Saat ini, secara sadar maupun tidak, banyak negara melakukan propaganda, humas, atau pencitraan sejenis. Masyarakat dikelabui sedemikian rupa untuk menuruti kecenderungan bawah sadar warga negara agar lebih mudah manut sama keinginannya pemerintah.

Barangkali, melawan hawa nafsu pada masa-masa sekarang tak sekadar melawan diri sendiri. Ia bisa juga mengatakan tidak pada korporasi-korporasi yang membuat kita membeli barang-barang tak perlu dengan memanipulasi kecenderungan primal kita.

Ia juga penolakan terhadap ideolog dan propagandis yang memanfaatkan tendensi primordial kita untuk berkubu dan merasa paling benar sendiri serta kemudian menjatuhkan golongan lain. Ia juga perlawanan terhadap pemerintah yang memutarbalikkan ketakutan dan harapan kita untuk menjustifikasi pembungkaman. Dalam hal ini, Rasullah (kedamaian selalu untuknya) benar. Ia adalah jihad yang lebih akbar. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image